Search This Blog

Tuesday, July 05, 2011

pilkada

BAB I
PENDAHULUAN
            Pemilihan umum hampir-hampir tidak mungkin dilaksanakan tanpa kehadiran partai-partai politik ditengah masyarakat. Keberadaan partai juga merupakan salah satu wujud nyata pelaksanaan asas kedaulatan rakyat. Sebab dengan partai-partai politik itulah segala aspirasi rakyat yang kedaulatan berada di tangan rakyat, maka kekuasaan harus dibangun dari bawah. Konsekuensinya, kepada rakyat harus diberikan kebebasan untuk mendirikan partai-partai politik.
            Pasal 28 UUD 1945 dengan tegas menyatakan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan fikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dalam UU”. Maksudnya, disana dinyatakan bahwa Pasal 28 ini serta pasal-pasal lain yang mengenai penduduk dan warga negara hasrat Bangsa Indonesia untuk membangun negara yang bersifat ber-prikemanusiaan. Jadi yang diperlukan untuk memerinci ketentuan Pasal 28 ini adalah sebuah Undang-undang yang mengatur tentang “Kebebasan Berserikat” warga negaranya. Bukan sebuah Undang-undang yang justru akan membatasi warga negaranya untuk menyampaikan aspirasi suaranya.
Memang, kebebasan mendirikan partai tanpa batas dapat menimbulkan banyak berbagai persoalan yang justru merugikan perkembangan demokrasi. Kalau memang jumlah partai harus dibatasi, maka persoalannya kemudian ialah bagaimana caranya agar patai-partai itu dapat memainkan parannya secara wajar dan optimal, baik sebagai wahana penyalur aspirasi rakyat maupun sebagai sarana membangun pemerintahan secara demokrasi dari bawah, yang mampu menunjukkan bahwa negara memang menganut asas kedaulatan rakyat.
Apa yang berlaku selama hampir 3 (tiga) Dasawarsa terakhir ini menunjukkan sebuah gejala lemahnya posisi partai dalam memainkan peranan politiknya sebagai wahana pencerminan asas kedaulatan rakyat serta wahana pencerdasan rakyat akan sebuah pendidikan politik yang ada di negeri ini.
Apabila kita ilihat dari sudut pandang Ilmu Politik, hal ini nampaknya disebabkan oleh menguatnya peranan birokrasi dalam penyelenggaraan negara, ditambah dengan dikembangkannya sistem politik yang cenderung ke arah monolitik. Ada satu sisi segi positif kecenderungan ini, yaitu terpeliharanya stabilitas politik negara untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama dibidang ekonomi yang sangat berpengaruh dari stabilitasan politik dalam negeri.
Namun ada pula sisi negatifnya yakni kurang terserapnya aspirasi dan partisipasi rakyat secara menyeluruh dari lapisan bawah. Salah satu dampaknya ialah kecenderungan semakin melebarnya kesenjangan sosial dan ekonomi di dalam masyarakat, terutama masyarakat kecil yang selalu terpuruk dalam keadaan ekonomi yang tidak menentu. Dan hal ini terlihat saat pemerintah yang menaikkan beban ekonomi pada masyarakat secara umum, yang mengakibatkan sebuah problema yang mempengaruhi tata kehidupan ekonomi masyarakat. Sebagai contoh yang ada pada saat sekarang yaitu, Pemerintah yang menaikkan harga BBM yang alasan Pemerintah bahwa hal ini disebabkan akan naiknya harga Minyak Dunia, akan tetapi dengan adanya kompensasi bahwa rakyat kecil dan miskin akan mendapat bantuan berupa BLT yang dibagikan seharga Rp. 300.000,- per kepala keluarga se-Indonesia.
Akan tetapi pada kenyataan bahwa data yang digunakan adalah data lama (2005) yang banyak data yang sewaktu dilihat pada kenyataannya yaitu banyak rakyat Indonesia yang bertambah miskin sejak tahun 2005 sampai tahun 2008. Serta juga dalam hal pembagian juga banyak sekali ketimpangan yang terjadi, antara lain adanya rakyat yang miskin yang tidak mendapat BLT serta juga ada rakyat yang mampu perekonomiannya yang mendapatkan BLT.
Lemahnya peranan dari partai politik yang terjadi ditengah masyarakat dengan sendirinya mengurangi makna asas kedaulatan rakyat yang kita anut, serta juga banyak rakyat yang tidak percaya akan peranan partai politik akan mau memperjuangkan aspirasi rakyat secara umum yang menjerit akan himpinan hidup yang diciptakan oleh pemerintahan yang kurang bisa menangani akan tata pemerintahan dalam hal ekonomi. Lemahnya posisi partai politik juga turut serta mengambil keputusan-keputusan politik yang ada di dewan pemerintahan, karena dominan peranan sebuah birokrasi politik yang membawa dampak kurang bermaknanya arti sebuah pemilihan umum yang ada di negeri ini. Pemilihan umum yang berlangsung cenderung tidak membawa perubahan yang berarti, baik dalam proses peralihan maupun dalam upaya peningkatan aspirasi rakyat dari bawah dan juga perbaikan ekonomi yang di inginkan oleh rakyat secara umum.
Namun demikian, tidaklah berarti bahwa pemilihan umum yang selama ini dilaksanakan selama sama sekali tidak mempunyai makna yang berarti. Keberhasilan pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pemilihan umum secara yang secara rutin sekali dalam 5 tahun tentu mempunyai arti tersendiri dalam proses pembangunan demokrasi yang ada di Indonesia ini, walaupun banyak cacat yang terjadi disana-sini tetapi hal yang patut di perhatikan bahwa pemerintahan Orde Baru mampu melaksanakan pemilu secara berkala.
Tetapi, walau bagaimanapun dari waktu ke waktu diperlukan perbaikan-perbaikan dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia. Ini terutama menyangkut pembenahan kehidupan kepartaian yang ada di negara kita dan berbagai aspek mengenai penyelenggaraan pemilihan umum, baik dari segi pengeturan, penyelenggaraan maupun sistemnya serta penyidikan akan pelanggaran dari para peserta pemilu serta juga dari Jurkam maupun Timsesnya.
Adapun dalam masalah Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) yang sesuai dengan peraturan per-undang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang mengatur akan tata Pemerintahan Daerah (PEMDA) dalam mengatur pemerintahan sendiri terutama dalam hal Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Undang-undang ini sesuai dengan UUD 1945 yang ada pada UUD 1945 perubahan pertama yaitu Pasal 22E UUD 1945. Yaitu bahwa Pemilihan Kepala Daerah baik untuk tingkatan Gubernur, Bupati, Walikota serta para wakilnya di tentukan oleh adanya pemilihan secara langsung oleh rakyat yang berasaskan pada langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Jimlie Ashshiqie, 2006, hal:792).
Sedangkan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah ini dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang bertempat tugas di daerah Tingkat I (Provinsi), daerah Tingkat II (Kabupaten), dan Kota. Komisi ini melaksanakan tugasnya sebagai badan pelaksana pemerintah yang mengurusi akan masalah Pemilihan Kepala Daerah yang ada di daerah tanggung jawabnya. Adapun tugas dari KPUD bukan hanya saja memilih Gubernur, Bupati, maupun Walikota akan tetapi DPRD juga turut serta dalam wewenang tanggung jawab dari KPUD dalam memilih anggota legislatif yang ada di daerah. Akan tetapi fokus dalam masalah yang berkembang dalam wacana publik yang ada yaitu banyak masyarakat daerah tersebut atau masyarakat umum se-Indonesia yang membicarakan masalah pemilihan kepala daerah yang berstatus Gubernur, Walikota, maupun Bupati.
Sedangkan pengertian dari Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lalu yang ada dalam pemerintah daerah adalah Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah (Undang-undang No. 32 Tahun 2008, Pasal 1 Ayat 2 dan Ayat 3)

RUMUSAN MASALAH
1.            Bagaimana tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan kepala daerah?
2.            Apakah demokrasi menjadi kunci terjawabnya partisipasi politik dalam pemilihan kepala daerah.?
3.            Apakah Money Politics mempengaruhi akan partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah serta apakah boleh untuk menjalankan Money Politics dalam acara demokrasi yang ada ?
TUJUAN PAENULISAN
1.            Untuk mengetahui tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan kepala daerah
2.            Untuk mengetahui apakah benar demokrasi menjadi kunci terjawabnya partisipasi politik dalam pemilihan umum.
3.            Untuk mengetahui pengaruh Money Politics dalam patisipasi politik masyarakat dalam pilkada serta mengetahui boleh tidaknya melakukan Money Politics





















BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum kita membahas akan apa partisipasi masyarakat dalam proses pemilhan kepala daerah maupun adanya indikasi akan permainan Money Politics  dalam acara pesta demokrasi daerah. Maka penulis akan membahas mengenai arti dari permasalahan awal dalam makalah ini yaitu arti kata politik yang berasal dari bahasa yunani yaitu Polis yang artinya kota (Pusat Pengaturan Rakyat). Jadi, yang dimaksud dengan Politik adalah pengetahuan tentang seluk beluk ketatanegaraan baik dari aspek kekuasaan, pemerintahan dan pengaturan dalam suatu negara.
Pengertian PILKADA ialah pemilihan kepala daerah secara langsung oleh masyarakat daerah tersebut untuk memilih kepala daerahnya yang baru atau Pemilihan Kepala Daerah baik untuk tingkatan Gubernur, Bupati, Walikota serta para wakilnya di tentukan oleh adanya pemilihan secara langsung oleh rakyat yang berasaskan pada langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung) sudah terjadi di ratusan tempat di seluruh Indonesia. Namun, ada gejala mencolok yang cukup mengkhawatirkan yang terjadi dalam masyarakat. Antusiasime publik dan tingkat partsipasi masyarakat luas dalam pilkada itu cukup rendah. Ukuran paling mencolok dari rendahnya keterlibatan publik itu adalah rendahnya tingkat Voter Turnout (partisipasi pemilih yang mencoblos di TPS pada hari pemilihan).
Di banyak daerah di Indonesia, hanya 70 persen pemilih yang terdaftar yang datang ke tempat pemungutan suara. Di beberapa tempat, bahkan hanya sekitar 50 persen dari pemilih yang ikut mencoblos. Persentase Voter Turnout itu jelas sekali di bawah rata-rata Pemilu Nasional di Indonesia. Sejak Orde Baru sampai dengan Orde Reformasi, rata-rata Voter Turnout itu sekitar 90 persen.
Secara hukum, rendahnya tingkat partisipasi publik itu tidak membatalkan pemilu. Sejak awal negara kita menganut asas suka-rela dalam partisipasi politik di dalam pelaksanaan pemilu. Para pemilih boleh mendaftarkan diri sebagai pemilih, boleh juga tidak. Bahkan pemilih yang sudah memiliki kartu pemilih boleh datang ke tempat pemilihan, boleh juga tidak. Partisipasi politik itu dianggap menjadi hak warga negara bukan kewajiban dari warga negara.
Sebagai contoh perbandingan yang terjadi di Amerika Serikat, yang menjadi salah satu model demokrasi dunia, Voter Turnout itu juga cukup rendah. Bahkan dalam pemilu nasional yang memilih Presiden, persentase Voter Turnout itu sekitar 50 persen - 60 persen saja. Namun demokrasi terus berjalan. Pemimpin yang terpilih juga memperoleh legitimasi yang kuat dari masyarakat.
Tetapi, bagi negara demokrasi yang baru dan juga baru dalam menjalankan demokrasi di negaranya mapun negara yang baru berdiri, rendahnya Voter Turnout cukup mengkhawatirkan, yang sangat berbeda dengan yang terjadi di Amerika Serikat. Di negara itu, walau publik tidak datang ke tempat pemungutan suara, terasa tidak banyak perbedaan yang dianut para kandidat. Ibarat hanya memilih antara Coca Cola dan Pepsi Cola. Siapa pun yang terpilih, sistem politik di sana sudah berjalan, yang Prodemokrasi, Propasar Bebas, dan Prokebebasan Individu. Rendahnya Voter Turnout di sana tak berkaitan dengan Distrust atau ketidak percayaan masyarakat kepada demokrasi.
Di Indonesia, kita khawatir jika rendahnya Voter Turnout itu akan menjadi awal dari mosi tak percaya kepada demokrasi. Mereka menikmati kebebasan politik yang dibawa oleh demokrasi. Namun, gunjang-ganjing demokrasi itu belum mereka rasakan dalam memperbaiki kehidupan ekonomi konkret mereka sehari-hari. Bahkan untuk banyak kasus, mereka justru merasa lebih sengsara.
Jika ini yang menjadi pangkalnya, rendahnya Voter Turnout dalam pilkada menjadi sinyal lampu kuning bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Sistem demokrasi tak pernah menjadi kokoh tanpa kepercayaan publik atas keefektifannya.
Konsekuensi rendahnya Voter Turnout dalam Pilkada dapat menyebabkan terpilihnya kepala daerah yang berbeda. Untuk suatu daerah yang sangat kompetitif, acap kali jarak kemenangan satu kandidat atas kandidat lainnya di bawah 20 persen. Dalam sistem multipartai dan acap kali jumlah kandidat yang ikut serta lebih dari dua, cukup normal jika selisih persentase dukungan atas kandidat pemenang dan saingan terdekatnya di bawah 20 persen. Hanya dalam kasus khusus saja selisih itu di atas 20 persen.
Namun, apa yang terjadi jika pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara di bawah 70 persen, apalagi di bawah 50 persen? Itu berarti sejumlah 30 persen-50 persen pemilih tidak mencoblos. Jika mayoritas yang tidak mencoblos itu adalah pendukung kandidat tertentu yang paling kuat, niscaya pemenang pemilu berubah. Tokoh tertentu dikalahkan dalam pemilih langsung bukan karena ia kalah populer, tetapi semata karena mayoritas pendukungnya tidak datang ke tempat pencoblosan.
Para ahli strategi politik di belakang kandidat di Amerika Serikat sangat sadar akan situasi itu. Mobilisasi pendukung untuk datang ke tempat pemungutan suara dijadikan bagian sentral pemenangan kandidat.
Penyebab rendahnya Voter Turnout dalam pilkada di Indonesia memang dapat disebabkan banyak hal, mulai dari yang paling teknis sampai kepada yang sangat politis. Yang paling teknis, itu disebabkan oleh persoalan logistik belaka. Keterlambatan turunnya dana ke KPUD dapat menyebabkan tidak sempurnanya semua tahapan pemilu. (Denny JA, 01/05/2006)
KPUD terlambat dalam mendata pemilih. Akibatnya, terlambat pula dalam sosialisasi dan menyiapkan kartu pemilih. Jumlah pemilih yang memenuhi syarat administratif untuk mencoblos menjadi jauh lebih rendah daripada jumlah pemilih yang sebenarnya. Pemilih yang sah tetapi tidak lengkap syarat administrasinya tentu tidak memenuhi syarat untuk ikut mencoblos. Jika itu alasannya, rendahnya Voter Turnout itu tak ada kaitan sama sekali dengan trust atau distrust atas demokrasi di Indonesia.
Namun, jangan pula dikesampingkan alasan yang lebih politis. Selalu terbuka kemungkinan pemilih kehilangan antusiasme. Mereka sudah mengalami euforia reformasi sejak 1998. Sudah tujuh tahun usia reformasi. Namun, apa yang mereka rasakan dalam kehidupan ekonomi konkret mereka sendiri?
Tingginya angka pengangguran, harga kebutuhan pokok yang terus meninggi, meluasnya busung lapar, kelangkaan BBM, listrik yang semakin sering mati, tingginya perpecahan partai politik, hilangnya keteladanan pemimpin, tentu juga menjadi memori kolektif mereka. Dalam berbagai survei juga terekam bahwa kekecewaan publik atas reformasi meningkat.
Kekecewaan itu dapat saja diekspresikan melalui absen dalam pemilu. Rendahnya voter turnout dalam pilkada selalu mungkin menjadi puncak gunung es atas apatisme publik terhadap demokrasi. Rendahnya voter turnout itu dapat pula menjadi cermin distrust atau ketidakpercayaan atas komitmen maupun kapabilitas pemimpin yang dipilih secara demokratis.

No comments:

Post a Comment

Powered By Blogger