Menjadi kaya, mungkin itu adalah impian banyak sekali
orang. Entah itu kaya secara meterial, maupun kaya secara spiritual, apa
lagi kaya kedua-duanya, ia sudah menjadi magnet dengan daya tarik yang
demikian besar. Lebih dari delapan puluh persen energi manusia habis terkuras
untuk meraih ini semua. Bahkan, tidak sedikit manusia yang menghabiskan hampir
seluruh hayatnya hanya untuk menjadi kaya. Dan tidak ada satupun
manusia waras yang bercita-cita untuk menjadi miskin.
Di tengah arus deras pencaharian seperti ini, dalam
renungan-renungan keheningan kadang terpikir, adakah manusia yang tidak
pernah miskin ? Ya sejak lahir sampai dengan meninggal, ia tidak pernah
mengalami kemiskinan. Kalau orang seperti itu ada, betapa beruntungnya dia.
Lama sempat saya mencari orang-orang yang tidak pernah miskin ini. Dari
sekian desa dan kota yang sempat saya kunjungi. Entah di negeri sendiri,
atau di negeri orang, sungguh teramat sulit menemukannya. Ada yang lahir
serta besar di keluarga kaya secara materi, namun merasa diri paling miskin di
dunia. Sebab, selalu membandingkan dirinya dengan orang lain yang lebih
tinggi. Ada juga yang lahir dan tumbuh di keluarga yang kaya secara
spiritual, tetapi menyesali kehidupan materinya yang serba kekurangan.
Setelah hampir lelah mencari, ternyata Tuhan masih
memberikan kesempatan pada saya untuk menemukan manusia jenis langka ini.
Dan ia muncul melalui jendela (baca : buku) yang dihasilkan oleh Alexander
Simpkins dan Annellen Simpkins. Dalam karya mereka yang berjudul Simple
Taoism, kedua penulis jernih ini mengutip pertanyaan yang pernah dilontarkan
oleh seorang murid kepada Yang Chu tentang the correct course for life.
Dalam jawaban sederhana namun mendasar Yang Chu berargumen meyakinkan : ‘those
who are good at enjoying life are not poor’.
Dengan kata lain, manusia-manusia yang tidak pernah miskin, sedikit kaitannya
dengan tingkatan material maupun spiritual seseorang, melainkan lebih pada
seberapa baik dan seberapa bisa ia menikmati dan mensyukuri hidupnya. Begitu
kemampuan menikmati dan mensyukuri terakhir melekat dalam pada kehidupan
seseorang, maka masuklah ia dalam kelompok manusia yang tidak akan pernah
miskin.
Bagaimana bisa disebut miskin kalau pada tingkatan
penghasilan dan kehidupan manapun ia hanya mengenal kata syukur, syukur dan
syukur. Di tahapan-tahapan awal, syukur memang memerlukan pembanding, terutama
pembanding yang lebih rendah. Akan tetapi, dalam pemahaman yang lebih
mendalam, syukur adalah syukur. Ia tidak lagi memerlukan pembanding.
Orang sehat memerlukan pembanding orang sakit. Manusia
naik motor memerlukan pembanding mereka yang berjalan kaki. Mereka yang
telah bekerja perlu menoleh ke sahabat yang masih menganggur. Kita yang
bisa bernafas bebas perlu menoleh ke orang yang bernafas dengan membeli
gas bantuan. Rekan yang telah memiliki rumah perlu kadang-kadang merasakan
orang-orang yang mengontrak rumah.
Bahayanya, di tingkat serba membandingkan seperti ini,
kualitas rasa syukur akan berkurang drastis begitu pembandingnya adalah
mereka yang telah sampai di tataran yang lebih tinggi. Oleh karena alasan
inilah, maka saya mengajak Anda untuk hidup dengan rasa syukur tanpa perlu
kehadiran pembanding. Sekali lagi, syukur adalah syukur. Anda adalah Anda, saya
adalah saya. Tidak mudah tentunya, terutama karena ia memerlukan kemampuan
mengelola tubuh dan khususnya panca indera yang meyakinkan.
Saya tidak tahu, bagaimana Anda melakukannya. Dalam
banyak kesempatan, selalu saya usahakan untuk mendidik panca indera.
Sebagai pria normal, mata saya juga mengagumi wanita cantik. Cuman, ia hanya
saya biarkan menoleh wanita cantik beberapa detik saja. Mulut saya juga
menyukai rasa enak, cuman sudah lama saya didik untuk makan secukupnya saja.
Telinga saya juga suka kabar baik dan musik-musik indah. Namun, kalau yang
datang adalah kabar buruk, atau musik yang tidak pas dengan selera, tetap
diupayakan untuk menikmatinya.
Dalam sebuah kesempatan terbang ke Bali sana, kebetulan duduk di sebelah
saya seorang rekan pengusaha kaya yang tinggal di Jakarta. Banyak percakapan
kapitalis yang kami lakukan dalam penerbangan satu setengah jam ini. Dari
mencari dan menemukan peluang bisnis, bagaimana kaum profesional sebaiknya
dikelola, sampai dengan masa depan ekonomi politik negeri ini. Karena
demikian akrabnya percakapan, sampai-sampai ia menemani saya menemukan
penjemput saya di Bandara.
Berbeda dengan sahabat pengusaha tadi yang dijemput dengan Limousine, saya
kebetulan hari itu dijemput oleh seorang keluarga dari desa yang hanya
membawa sebuah Toyota kijang tua dengan bak terbuka. Jangan tanya AC,
kacanyapun bisa dibuka dengan upaya khusus. Melihat mobil jemputan seperti
ini, pengusaha tadi menawarkan Limousine-nya. Dan saya tolak halus sambil
mengucapkan terimakasih.
Saya tidak tahu apa cerita pengusaha tersebut setelah kejadian ini. Namun,
beberapa waktu kemudian di kesempatan lain di Jakarta, pengusaha yang sama
masih bersedia bertutur dengan kualitas keakraban yang tidak menurun. Ini semua
meyakinkan saya, kualitas kita sebagai manusia terkait erat dengan kualitas
rasa syukur yang kemudian memancar dari dalam ke luar. Sebuah kesadaran yang
diharapkan bisa membawa saya menjadi manusia tidak pernah miskin.

No comments:
Post a Comment