Search This Blog

Tuesday, July 05, 2011

pemerintah

Pemerintahan yang baik bisa diartikan sebagai pemerintahan yang secara politik diterima (terbentuk melalui proses demokrasi), secara hukum efektif (mampu melakukan penegakan hukum), secara administrasi efisien (organisasinya ramping, kinerjanya maksimal, tidak boros dalam pengeluaran). Minimal, pemerintahan yang baik harus relatif bebas dari kesewenang-wenangan penguasa, kekeliruan kebijakan, perampasan hak milik, dan inefisiensi administrasi. Dari pemerintahan yang baik itulah bisa diharapkan lahirnya berbagai bentuk dan tingkatan pelayanan publik yang adil dan karena itu menyebarkan rasa keadilan.

Dalam konteks pemerintahan yang baik, rakyat dan nasib rakyat harus selalu dihadirkan dalam setiap proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan negara dan pemerintahan. Apapun keputusan yang diambil dan kebijakan apapun yang dibuat, harus jelas di mana posisi rakyat. Artinya, manfaat apa yang dapat diterima oleh rakyat melalui pelaksanaan kebijakan negara dan pemerintahan.

Pemerintahan yang baik merupakan kolaborasi yang efektif antara para perencana, penentu kebijakan, dan staf yang berkualitas. Sebuah tim yang berkualitas tinggi hanya bisa dibentuk oleh seorang pemimpin yang cerdas sekaligus berjiwa besar, karena mengharuskan sang pemimpin menghimpun sejumlah orang yang memiliki kemampuan lebih dari dirinya dalam bidang-bidang yang diperlukan. Tim itu pun tetap diberi keleluasaan untuk mengembangkan daya kreatif dan daya prakarsanya. Pada saat yang sama, sang pemimpin harus tetap membimbing agar mereka selalu sadar dari siapa menerima perintah dan kepada siapa mereka bertanggung jawab.

Suatu kepemimpinan yang hanya mengakomodasi para loyalis dan oportunis yang pintar cari muka atau sekadar ingin “membalas jasa” karena pernah menjadi tim sukses dan bahkan sekadar ingin menjaga stabilitas kekuasaannya dengan merangkul representasi kekuatan-kekuatan politik yang ada, tanpa menjadikan faktor kompetensi sebagai pertimbangan yang utama, akan sulit membangun tim kerja yang solid dan efektif. Hal ini justru merepresentasikan sebuah kepemimpinan yang lemah, tidak percaya diri, dan karena itu tidak akan pernah mampu mengemban sejumlah misi yang berat dan kompleks.

Redundancy
Reformasi birokrasi tidak terlepas dari lingkungan politik di mana birokrasi bekerja. Karena pada dasarnya reformasi birokrasi adalah kelanjutan dari reformasi politik. Secara empirik dan historis tercatat bahwa di hampir semua negara, reformasi birokrasi yang efektif hanya bisa berlangsung di bawah kepemimpinan politik yang kuat dan cerdas. Ini disebabkan oleh selalu adanya potensi resistensi yang besar terhadap gagasan-gagasan perubahan di dalam tubuh birokrasi itu sendiri.

Reformasi politik yang mengambil tempat di berbagai negeri di akhir abad XX, berfokus pada agenda demokratisasi dan desentralisasi pemerintahan. Gerakan ini merupakan jawaban langsung terhadap kegagalan sistem-sistem politik otoriter dan sistem pemerintahan sentralistik dalam memperbaiki kualitas pengelolaan kekuasaan dan kualitas kehidupan masyarakat, dua hal yang biasanya diasumsikan sebagai ukuran keberhasilan suatu sistem kekuasaan.

Dalam situasi di mana reformasi politik telah menemukan bentuknya yang jelas, reformasi birokrasi pun semestinya dilakukan. Hal itu dimulai dengan evaluasi terhadap seluruh aturan main yang berkenaan dengan mekanisnme kerjanya, evaluasi terhadap format organisasi, sistem manajemen (rekrutmen, penempatan dan promosi jabatan, mekanisme pengambilan keputusan, pelaksaan tugas dan fungsi koordinasi).

Reformasi birokrasi harus bertolak dari visi yang jelas tentang ke mana pemerintahan akan dibawa. Sebelum melakukan rekrutmen, seluruh sistem regulasi dan organisasi harus terlebih dahulu dievaluasi tingkat kesesuaiannya dengan pencapaian tujuan dan kemampuan dukungan keuangan daerah. Semua tugas dan fungsi didefinisikan secara jelas sehingga segala kemungkinan ”over lapping” dan ”redundancy” bisa dihindari. Sebaliknya mempertahankan organisasi yang gemuk dan ”redundant” akan mengakibatkan inefisiensi.

Dalam perspektif etika pemerintahan, suatu organisasi yang tidak efisien dan proses rekrutmen yang tidak berdasarkan kompetensi adalah sebuah pengkhianatan terhadap misi organisasi untuk memberikan pelayanan yang terbaik.

Persyaratan untuk pencalonan seseorang ke posisi kepemimpinan pemerintahan pada setiap tingkatan perlu dirumuskan secara jelas dan mudah diterapkan. Misalnya dengan mengutamakan faktor pengalaman yang terdokumentasikan, prestasi yang dapat diukur, dan visi masa depan yang dapat diuji.

Hal yang terakhir ini mengharuskan seseorang calon untuk tampil di muka publik, menjelaskan penilaiannya tentang realitas tantangan dan masalah yang dihadapi, preskripsi yang ia tawarkan untuk menjawab tantangan dan menyelesaikan masalah, perkiraan dan perhitungannya tentang dampak dari kebijakan yang akan ia luncurkan sebagai pelaksanaan dari preskripsi itu, cara-cara apa yang akan ia gunakan untuk menggalang dukungan bagi keberhasilan kebijakan, serta dari mana saja dukungan itu akan datang.

Prosedur rekrutmen pun memerlukan penataan yang lebih canggih. Misalnya dengan menetapkan bahwa pengajuan calon oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan berwenang harus disertai dengan bahan-bahan lengkap berkenaan dengan persyaratan yang dikemukakan di atas.

Penjelasan yang tuntas tentang mengapa si calon dipandang paling baik dan tepat untuk menduduki suatu posisi kepemimpinan diperlukan agar dari awal masyarakat memperoleh informasi yang objektif tentang sang calon. Dengannya masyarakat mendapatkan informasi tentang kualitas, integritas dan komitmen dari calon pemimpin.

Mengkonteks
Persoalan mutasi di Kota Kupang adalah hal yang hampir biasa karena dalam setahun bisa terjadi beberapa kali mutasi. Mutasi yang dilakukan Pemkot Kupang tentunya atas pertimbangan kepentingan organisasi. Dan, ini untuk menunjang kinerja serta pengembangan struktur ke depan.

Namun, yang perlu diperhatikan adalah agar mutasi yang dilakukan tidak sekadar karena kepentingan like and dislike penguasa atau “balas budi politik” tetapi berdasarkan evaluasi yang akurat tentang kinerja dan kualitas serta kebutuhan organisasi.
Keseringan mutasi yang dilakukan Pemkot Kupang tentu menimbulkan rasa “tidak nyaman” di kalangan staf pemerintahan. Efek oleh keseringan mutasi membuat orang yang biasa mampu bekerja dengan baik tidak dapat berbuat banyak pada tempat yang baru.

Banyak waktu yang diperlukan untuk beradaptasi dengan instansi yang baru, yang bisa jadi melupakan prioritas pelayanan pemerintahan yakni pemenuhan kebutuhan rakyat. Secara psikologis, keseringan mutasi hanya melahirkan ketakutan-ketakutan dan ancaman-ancaman yang melemahkan etos kerja dan spirit pelayanan.

Lebih parah lagi jika out put mutasi adalah penempatkan orang yang salah pada posisi yang tepat (wrong man on the right place). Ini bisa dilihat dari sejauh mana kinerja yang bersangkutan setelah menerima tugas dan jabatan baru. Menempatkan orang tanpa mempertimbangkan kualitas, keterampilan, keahlian, pengalaman justru menjadi bumerang bagi berjalannya roda pemerintahan. Sangat disayangkan jika pertimbangan untuk melakukan mutasi lebih banyak dipicu oleh kepentingan SARA, sementara perbedaanlah yang membuat kita kaya dan lebih maju berkembang.

Meritokrasi

Ilustrasi tentang dialog antara seorang Kaisar Cina dengan Confusius (Konghucu) beberapa abad yang lalu kiranya layak direnungkan. Konon seperti dikutip oleh Robert Greenleaf, pada suatu waktu Confusius dimintai nasehat oleh sang Kaisar tentang bagaimana mengatasi semakin merajalelanya pencurian dalam masyarakat. Tetapi Confusius tidak memberi nasehat. Ia hanya mengingatkan: seandainya Tuan Kaisar sendiri tidak serakah, tidak mengambil sesuatu yang bukan hak Tuan, niscaya mereka tidak akan tertarik untuk menjadi pencuri.

Bahkan, seandainya pun Tuan membayar mereka untuk menjadi pencuri, mereka akan menolak.
Greenleaf tidak membuat ulasan lebih lanjut tentang makna dari dialog itu. tetapi, setiap pembaca akan paham bahwa pesan yang melekat pada kata-kata Confusius itu menekankan pentingnya keteladanan para pemimpin pemerintahan sebagai landasan moral bagi terpeliharanya ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat.

Keteladanan dalam mengendalikan kehidupan pribadi dan keluarga, akan lebih memantapkan kemampuan seorang pemimpin untuk melayani, memberdayakan dan membangun masyarakat. Sebaliknya, kehidupan para pemimpin yang jauh dari suasana keteladanan akan cenderung menyulitkan lahirnya simpati dan kepercayaan masyarakat.

Seorang pemimpin menurut J. Roland Pennock, memiliki tanggung jawab untuk mengambil prakarsa (initiating), melakukan koordinasi (coordinating), dan membangun serta menggerakan semangat (energizing). Ini bisa dibandingkan dengan konsep Robert Tucker tentang tugas pemimpin untuk mendefinisikan masalah (defining the problem), membuat resep bagi pemecahan masalah (prescribing the best alternative solutions to the problem), dan membangun dukungan bagi pelaksanaan resep itu (mobilizing support). Kualitas seorang pemimpin dengan demikian dapat diukur dari kemampuan mengemban fungsi, tugas dan tanggung jawab utama yang telah dibeberkan di atas.

Dalam pembinaan kepemimpinan pemerintahan yang demokratis diperlukan prosedur dan mekanisme rekrutmen yang dapat secara objektif dan ketat menyeleksi calon-calon pemimpin dari kalangan yang memiliki kapasitas dan integritas yang tinggi. Strategi rekrutmen yang seperti ini akan mendekatkan pemerintahan kepada karakter meritokrasi, yaitu pemerintahan oleh orang-orang yang secara teknis kapabel dan secara politik akseptabel.

Pembangunan suatu kepemimpinan pemerintahan yang demokratis memang seyogyanya menghindari terlalu dominannya pertimbangan politik di dalam proses rekrutmen. Pertimbangan-pertimbangan tentang integritas (yang teruji), kompetensi (yang diakui) dan komitmen (yang bisa dipercaya) sangatlah penting.

Itu yang akan menjamin pencapaian misi pemerintahan dan fungsi-fungsi pemerintahan. Orientasi profesional tidak harus dipertentangkan dengan dukungan politik, jika dipahami bahwa dukungan itu justru menjamin terpilihnya orang-orang yang terbaik dalam jajaran kepemimpinan. Dalam konteks ini proses integrasi antara pengetahuan dan kekuasaan perlu terus diupayakan.

Dalam perspektif demokrasi, langkah pertama untuk membangun pemerintahan yang bersih dan efektif adalah merekrut orang-orang terbaik ke dalam struktur kepemimpinannya. Langkah kedua adalah meluncurkan berbagai kebijakan pemberdayaan, sehingga masyarakat menjadi mampu menilai: apakah kepemimpinan pemerintahan yang berlaku bisa dipercaya karena ia jujur, efisien, efektif, dan berhasil memperbaiki kualitas kehidupan mereka dari waktu ke waktu. Faktor kepercayaan ini penting karena pemerintahan yang sudah kehilangan kepercayaan dari masyarakatnya akan sangat sulit berfungsi dengan baik.

Bahkan dari sudut pandang demokrasi, keadaan tanpa kepercayaan rakyat itu akan menempatkan suatu pemerintahan dalam posisi tidak absah (illegitimate). Mari kita menilai proses mutasi di kota ini.
Jika kita mempelajari teori organisasi, maka selalu kita dapatkan apa yang disebut dengan istilah siklus kehidupan organisasi. Siklus kehidupan organisasi ini, selalu menunjukkan fase-fase kehidupan tertentu, mulai kelahiran, pertumbuhan, menginjak remaja, dewasa, menua dan akhirnya mengakhiri hidupnya. Rupanya siklus ini mirip dengan apa yang dialami oleh kehidupan biologis pada umumnya dengan berbagai ciri-cirinya. Misalnya, pada masa pertumbuhan selalu mengalami ciri-ciri misalnya kreatif, gerak tanpa arah, penuh energi dan lain-lain. Sebaliknya, jika sudah menua, maka yang terjadi adalah gerak menjadi berkurang, kurang kreatif, suka mengingat nikmat-nikmat masa lalu dan seterusnya. Saya kira demikian pula Organisasi di berbagai Departemen termasuk Departemen Agama, juga akan mengalami siklus kehidupan seperti organisasi pada umumnya. Siklus itu akan berjalan sampai tahap dewasa, tetapi yang tidak boleh terjadi adalah masuk pada fase penuaan. Instansi pemerintah pun harus tetap kaya potensi, kreatif, cerdas dan menarik. Oleh karena itu harus selalu melakukan proses revitalisasi secara terus menerus tanpa henti.

Organisasi selalu melibatkan banyak orang dengan berbagai sifat dan kharakteristiknya. Akan tetapi, sebuah organisasi tidak boleh mengikuti kharakteristik pribadi-pribadi siapapun yang ada pada organisasi itu. Organisasi harus memiliki kharasteristik tersendiri, sebagai ciri khasnya. Ciri khas inilah yang membedakan antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. Demikian pula, organisasi pemerintah yang terdiri atas beberapa departemen, masing-masing departemen tentu memiliki kharakter sendiri-sendiri. Kharakter itu semestinya ditunjukkan oleh aparatnya secara keseluruhan. Kharakter itu bisa tampak, mulai dari yang terkecil hingga dalam wajah yang lebih luas dan mendasar. Aspek yang terkecil misalnya, soal cara berpakaian, cara berbicara, bagaimana menerima tamu, memberikan pelayanan masyarakat dan seterusnya. Gedung kantornya boleh berubah bentuk atau bahkan juga pindah tempat, akan tetapi kharakter itu tidak boleh berubah. Ciri Departemen Agama bukan sebatas dapat dikenali dari papan nama di muka kantornya, akan tetapi, harus tercermin pada kharakter organisasi, yang hal itu dapat ditunjukkan pada kharakter pribadi masing-masing aparatnya.

Organisasi sebagaimana kehidupan biologis pada umumnya, selalu memiliki kekuatan penggerak kehidupannya. Kekuatan penggerak itu adalah Visi, Misi, Value dan Beliefe. Aspek-aspek ini harus selalu diperkukuh dan dipersegar secara terus menerus agar institusi organisasi ini tetap sehat dan kreatif. Institusi yang sehat dan kreatif akan mampu melahirkan personil yang produktif hingga menghasilkan pelayanan yang memuaskan, karena selalu diberikan secara prima kepada masyarakat. Oleh karena itu, inti daripada merevitalisasi organisasi, adalah selalu melakukan penyegaran terhadap visi, misi, value dan kepercayaan secara terus menerus tanpa henti. Di sinilah peran pimpinan dari berbagai tingkatan dan lini yang harus dimainkan semaksimal mungkin. Oleh karena itu bisa jadi institusi menempati gedung kantor yang tua dan sederhana, tetapi ia tetap memiliki kekuatan hidup, sehingga tampak bersinar dan selalu menunjukkan vitalitasnya. Begitu juga sebaliknya, terdapat kantor yang gedungnya gagah, tetapi tampak kurang memberikan suasana kehidupan selayaknya. Oleh karena itu, sehat tidaknya sebuah institusi, bukan ditentukan oleh di mana ia berada, melainkan yang lebih dominan adalah ditentukan oleh faktor manusianya, apakah mereka memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang akan diperjuangkan, visi dan misi yang jelas.

Kegiatan merevitalisasi organisasi, khususnya di Departemen Agama, tidaklah terlalu sulit. Aparatur Departemen Agama, telah menyandang nilai-nilai dan kepercayaan yang kukuh yang bersumberkan dari ajaran masing-masing agama yang dianut. Masing-masing agama mengajarkan tentang pengabdian yang harus diberikan sebaik mungkin-----dalam Islam amal sholeh. Islam mengajarkan tentang ikhsan, yaitu keharusan selalu memilih yang terbaik, termasuk dalam mengabdi atau bekerja. Semua agama mengajarkan tentang keadilan, kejujuran, keterbukaan dan tanggung jawab. Semua aparatur Departemen Agama, atas dasar keimanannya bahwa apa yang mereka lakukan tidak saja sebatas dipertanggungjawabkan kepada atasannya, yang dekat, melainkan juga akan dipertanggungjawabkan kepada Yang Maha Dekat, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Memelihara nilai-nilai seperti ini, seharusnya dilakukan oleh masing-masing pimpinan pada setiap waktu, yang demikian berarti telah melakukan revitalisasi secara terus menerus.

Sementara ini, bangsa yang dikenal religious ini, tidak terkecuali di tubuh Departemen Agama, masih terkena penyakit birokrasi, yang kita sebut KKN. Akibatnya, tidak sedikit apatar Departemen Agama yang berurusan dengan polisi, pengadilan dan bahkan sampai ke penjara. Rasanya fenomena ini sulit dipahami, jika logika yang digunakan adalah logika da’i. Logika da’i mengatakan bahwa seseorang bisa diajak menjadi baik melalui nasehat, ceramah dan atau khutbah. Logika ini pada kenyataannya tidak selalu berjalan demikian. Nilai-nilai itu tetap penting disampaikan, tetapi harus dilengkapi oleh piranti lainnya, yaitu pengawasan atau kontrol secara saksama. Sebaliknya, birokrasi memiliki logika yang berbeda dengan itu. Aparat birokrasi bisa dijalankan atas dasar peraturan, tata tertib dan pedoman yang diberlakukan. Padahal kenyataannya, tidak sedikit peraturan, tata tertip dan pedoman kerja itu hanya dijalankan sebatas pada tataran formalnya. Tidak sedikit kasus, sekalipun telah disusun laporan pertanggung-jawaban oleh instansi, tetapi tidak ayal laporan pertanggung-jawaban itu bersifat semu dan dilakukan sebatas untuk memenuhi formalitas. Semestinya, pemenuhan tanggung jawab yang bersifat profan birokratis, agar diperoleh hasil maksimal, maka kedua pilar tersebut harus dijalankan secara simultan. Kedua jenis pilar itu adalah kepercayaan, nilai, visi dan misi dipadu secara kukuh dengan peraturan, pedoman, petunjuk kerja dan sejenisnya.

Akhir-akhir ini yang tampak dalam kehidupan pada umumnya, adalah telah terjadi fenomena semakin melemahnya semangat mengabdi, semangat berjuang dan berkorban. Sebagai gantinya terjadi budaya pasar, bahkan mendominasi semua sektor kehidupan, tidak terkecuali di birokrasi pemerintah, semacam Departemen Agama. Budaya pasar yang saya maksudkan adalah suasana serba transaksional. Dalam transaksi selalu yang terjadi adalah sama–sama berkeinginan saling mendapatkan sesuatu. Suasana seperti ini menggiring siapa saja, baru bersedia memberi, jika kemudian pada gilirannya akan menerima. Itulah budaya pasar, di mana kehidupan idialisme, nilai-nilai, keyakinan apalagi keinginan untuk berkurban semakin berkurang. Iklim seperti itu seyogyanya dihilangkan, setidak-tidaknya dikurangi. Dalam sejarahnya setiap kemajuan masyarakat selalu diraih melalui perjuangan. Perjuangan apapun tidak pernah dilakukan proses-proses kalkulatif. Sebaliknya, yang terjadi adalah diliputi suasana kesediaan untuk berkorban. Kesediaan berkorban adalah pintu kemajuan. Bahkan, tidak akan merdeka bangsa ini jika tidak ada orang-orang yang bersedia mengorbankan apa saja yang dimiliki, baik harta, tenaga maupun jiwanya. Belajar dari fenomena ini semestinya memang dalam birokrasipun, jika ingin maju, maka harus selalu ditumbuhkan suasana berjuang yang selalu berbarengan dengan pengorbanan, dan sebaliknya, bukan budaya pasar sebagaimana yang sedang berjalan saat ini.

Sebagai pelengkap bahan diskusi ini, saya akan menuturkan tentang apa yang saya lakukan untuk merevitalisasi birokrasi organisasi kampus yang saya pimpin hampir genap 12 tahun. Sejak saya memimpin kampus STAIN Malang pada awal 1998, yang kemudian pada pertengahan 2004 berubah menjadi UIN Malang, melakukan beberapa langkah strategis untuk mengembangkan lembaga ini. Saya beranggapan bahwa institusi ini jika diumpamakan sebagai kehidupan (organisasi), sudah memiliki raga secara sempurna. Yang masih lemah justru kekuatan vitalitasnya, yaitu ruh kekuatan penggeraknya. Kekuatan penggerak itu adalah nilai, keyakinan, ide, cita-cita ke depan yang besar dan maju. Selain itu, pada tataran implementatif, saya memahami bahwa manusia itu mau bergerak dan bahkan bersedia berkurban jika ada suasana gembira, saling mempercayai dan saling kasih sayang di antara seluruh anggota organisasi. Suasana itu tentu harus disempurnakan dengan ketauladanan dan ketulusan pimpinan. Para staf tidak akan mau bergerak, manakala tidak mendapatkan tauladani dan ketulusan dari pimpinan. Dalam menggerakkan orang, saya tidak begitu percaya dan menyukai peraturan, tata tertib dan sejenisnya. Kalaupun harus ada, maka peraturan dan pedoman itu saya lihat sebatas petunjuk jalan, fase yang harus dilalui, serta syarat yang seharusnya diadakan. Akan tetapi, itu semua tidak boleh mengganggu tumbuhnya perasaan senang, merasa dipercaya, dan kecintaan pada institusi. Ini semualah sesungguhnya yang disebut sebagai ruh organisasi, sebagai kekuatan agar organisasi selalu tumbuh, berkembang, kreatif, kukuh dan penuh vitalitas..

Sasana batin orang-orang yang tergabung dalam organisasi seperti itu melahirkan semangat berjuang dan kemauan berkurban, tidak terlalu banyak terjadi suasana transaksional. Mereka bekerja atas dorongan hati dan bukan sebatas adanya ketentuan dan peraturan, mereka berusaha memberikan yang terbaik dengan inovasi yang dilakukan dan yang menggembirakan. Hasilnya yang terjadi adalah suasana fastabiqul khoirot, dan bukan sebaliknya, berebut. Sebagai bentuk konkritnya, sudah terbiasa para staf, baik dosen maupun karyawan, memberikan sebagian rizki yang didapat untuk kepentingan kampus. Asrama mahasiswa, perumahan dosen, gedung fasilitas pendidikan, mobil sebagai sarana transportasi sebagian dikumpulkan melalui cara-cara ini. Oleh karena itu, merevitalisasi birokrasi dalam suasana demokrasi seperti saat ini, pendekatan untuk menumbuh-kembangkan kekuatan dari dalam diri aparatur jauh lebih efektif dari sebatas pemberlakuan peraturan dan atau semacamnya.. Allahu a’lam.
pa yang dimaksud dengan birokrasi? Secara etimologis, birokrasi berasal dari kata Biro (meja) dan Kratein (pemerintahan), yang jika disintesakan berarti pemerintahan Meja. Tentu agak 'lucu' pengertian seperti ini, tetapi memang demikianlah hakikat birokrasi oleh sebab lembaga inilah tampak kaku yang dikuasai oleh orang-orang di belakang meja. Mengapa demikian ?

Di dalam pendekatan institusional (kelembagaan), khususnya di dalam skema, tercantum 'lalu-lintas' administrasi negara dari eksekutif 'turun' ke Kebijakan Administrasi, lalu ke Administrasi dan yang terakhir ke pemilih. Artinya, setiap kebijakan setiap kebijakan negara yang yang diselenggarakan pihak eksekutif diterjemahkan ke dalam bentuk kebijakan administrasi negara, di mana pelaksanaan dari administrasi tersebut dilakukan oleh lembaga birokrasi. Kita mungkin mengenal badan-badan seperti Departemen, Kanwil, Kantor Kelurahan, Kantor Samsat, di mana kantor-kantor tersebut semua merupakan badan-badan birokrasi negara yang mengimplementasikan kebijakan negara dan bersifat langsung berhubungan dengan masyarakat.

Michael G. Roskin, et al., menyebut pengertian birokrasi. Bagi mereka birokrasi adalah "setiap organisasi yang berskala besar yang terdiri atas para pejabat yang diangkat, di mana fungsi utamanya adalah untuk melaksanakan (to implement) kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh para pengambil keputusan (decision makers). Idealnya, birokrasi merupakan suatu sistem rasional atau struktur yang terorganisir yang dirancang sedemikian rupa guna memungkinkan adanya pelaksanaan kebijakan publik yang efektif dan efisien.

Birokrasi juga dioperasikan oleh serangkaian aturan serta prosedur yang bersifat tetap. Terdapat rantai komando berupa hirarki kewenangan di mana tanggung jawab setiap bagian-bagiannya 'mengalir' dari 'atas' ke 'bawah.'

Selain itu, birokrasi juga disebut sebagai badan yang menyelenggarakan Civil Service (pelayanan publik). Birokrasi terdiri dari orang-orang yang diangkat oleh eksekutif, dan posisi mereka ini 'datang dan pergi.' Artinya, mereka-mereka duduk di dalam birokrasi kadang dikeluarkan atau tetap dipertahankan berdasarkan prestasi kerja mereka. Seorang pegawai birokrasi yang malas biasanya akan mendapat teguran dari atasan, yang jika teguran ini tidak digubris, ia kemungkinan besar akan diberhentikan dari posisinya. Namun, jika seorang pegawai menunjukkan prestasi kerja yang memuaskan, ada kemungkinan ia akan dipromosikan untuk mendapat posisi yang lebih tinggi (tentunya dengan gaji dan kewenangan yang lebih besar pula).

Karakteristik Birokrasi

Karakteristik birokrasi yang umum diacu adalah yang diajukan oleh Max Weber. Menurut Weber, paling tidak terdapat 8 karakteristik birokrasi, yaitu :
  1. Organisasi yang disusun secara hirarkis
  2. Setiap bagian memiliki wilayah kerja khusus.
  3. Pelayanan publik (civil sevants) terdiri atas orang-orang yang diangkat, bukan dipilih, di mana pengangkatan tersebut didasarkan kepada kualifikasi kemampuan, jenjang pendidikan, atau pengujian (examination).
  4. Seorang pelayan publik menerima gaji pokok berdasarkan posisi.
  5. Pekerjaan sekaligus merupakan jenjang karir.
  6. Para pejabat/pekerja tidak memiliki sendiri kantor mereka.
  7. Setiap pekerja dikontrol dan harus disiplin.
  8. Promosi yang ada didasarkan atas penilaiaj atasan (superior's judgments).
Ditinjau secara politik, karakteristik birokrasi menurut Weber hanya menyebut hal-hal yang ideal. Artinya, terkadang pola pengangkatan pegawai di dalam birokrasi yang seharusnya didasarkan atas jenjang pendidikan atau hasil ujian, kerap tidak terlaksana. Ini diakibatkan masih berlangsungnya pola pengangkatan pegawai berdasarkan kepentingan pemerintah.

Tipe-tipe Birokrasi Negara

Untuk melihat tipe-tipe birokrasi negara, dapat kiranya kita manfaatkan pemisahan tipe birokrasi menurut ideal typhus Amerika Serikat. Ideal typhus tersebut lalu kita komparasikan dengan apa yang ada di Indonesia.

Di Amerika Serikat, terdapat 4 jenis birokrasi yaitu : (1) The Cabinet Departments (departemen-departemen di dalam kabinet), (2) Federal Agencies (agen-agen federal), (3) federal Corporation (perusahaan-perusahaan federal milik federal), dan (4) Independent Regulatory Agencies agen-agen pengaturan independen).

Departemen-departemen dalam kabinet terdiri atas beberapa beberapa lembaga birokrasi yang dibedakan menurut tugasnya. Ada departemen tenaga kerja, departemen pertahanan, atau departemen pendidikan. Tugas utama dari departemen-departemen ini adalah melaksanakan kebijaksanaan umum yang telah digariskan oleh lembaga eksekutif maupun yudikatif.

Agen-agen federal merupakan kepanjangan tangan dari lembaga kepresidenan. Ia dibentuk berdasarkan pilihan dari presiden yang tengah memerintah, oleh sebab itu sifatnya lebih politis ketimbang murni administratif. Organisasi NASA di sana merupakan salah satu contoh dari agen-agen federal. Contoh dari birokrasi ini juga diposisikan oleh FBI (Federal Bureau Investigation). Di Indonesia agen-agen seperti ini misalnya Badan Tenaga Atom Nasional (Batan), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).

Korporasi-korporasi federal merupakan birokrasi yang memadukan antara posisinya sebagai agen pemerintah sekaligus sebagai sebuah lembaga bisnis. Di Indonesia contoh yang paling endekati adalah BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Meskipun negara (eksekutif) terkadang masih merupakan pihak yang paling menentukan dalam pengangkatan pejabatnya, tetapi secara umum -----sebagai sebuah lembaga bisnis----- ia memiliki otoritas untuk menentukan jenis modal dan juga memutuskan apakah perusahaan akan melakukan pemekaran organisasi atau sebaliknya, perampingan. Di Indonesia, contoh dari korporasi-korporasi milik negara ini misalnya Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), Garuda Indonesia Airways (GIA), Perusahaan Listrik Negara (PNL) atau Bank Mandiri.

Agen-agen Pengaturan Independen, sebagai jenis birokrasi yang terakhir, merupkan birokrasi yang dibentuk berdasarkan kebutuhan untuk menyelenggarakan regulasi ekonomi terhadap dunia bisnis, di mana penyelenggaraan tersebut berkaitan secara langsung dengan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia kini dibentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang berfungsi untuk melakukan rekstrukturisasi kalangan bisnis tanah air yang di masa lalu dianggap banyak merugikan keuangan negara, dan secara lebih jauh, kesejahteraan masyarakat Indonesia akibat, katakanlah, 'kredit-kredit macet' mereka. Selain itu, contoh bisa kita sebutkan misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan sejenisnya.

Peran Birokrasi dalam Pemerintahan Modern

Michael G. Roskin, et al. meneyebutkan bahwa sekurang-kurangnya ada 4 fungsi birokrasi di dealam suatu pemerintahan modern. Fungs-fungsi tersebut adalah :

1. Administrasi
Fungsi administrasi pemerintahan modern meliputi administrasi, pelayanan, pengaturan, perizinan, dan pengumpul informasi. Dengan fungsi administrasi dimaksudkan bahwa fungsi sebuah birokrasi adalah mengimplementasikan undang-undang yang telah disusun oleh legislatif serta penafsiran atas UU tersebut oleh eksekutif. Dengan demikian, administrasi berarti pelaksanaan kebijaksanaan umum suatu negara, di mana kebijakan umum itu sendiri telah dirancang sedemikian rupa guna mencapai tujuan negara secara keseluruhan.

2. Pelayanan
Birokrasi sessungguhnya diarahkan untuk melayani masyarakat atau kelompok-kelompok khusus. Badan metereologi dan Geofisika (BMG) di Indonesia merupakan contoh yang bagus untuk hal ini, di mana badan tersebut ditujukan demi melayani kepentingan masyarakat yang akan melakukan perjalanan atau mengungsikan diri dari kemungkinan bencana alam. Untuk batas-batas tertentu, beberapa korporasi negara seperti PJKA atau Jawatan POS dan Telekomunikasi juga menjalankan fungsi public service ini.

3. Pengaturan (regulation)
Fungsi pengaturan dari suatu pemerintahan biasanya dirancang demi mengamankan kesejahteraan masyarakat. Dalam menjalankan fungsi ini, badan birokrasi biasanya dihadapkan anatara dua pilihan: Kepentingan individu versus kepentingan masyarakat banyak. Badan birokrasi negara biasanya diperhadapkan pada dua pilihan ini.

4. Pengumpul Informasi (Information Gathering)
Informasi dibutuhkan berdasarkan dua tujuan pokok: Apakah suatu kebijaksanaan mengalami sejumlah pelanggaran atau keperluan membuat kebijakan-kebijakan baru yang akan disusun oleh pemerintah berdasarkan situasi faktual. Badan birokrasi, oleh sebab itu menjadi ujung tombak pelaksanaan kebijaksanaan negara tentu menyediakan data-data sehubungan dengan dua hal tersebut. Misalnya, pemungutan uang yang tidak semestinya (pungli) ketika masyarakat membuat SIM atau STNK tentunya mengalami pembengkakan. Pungli tersebut merupakan pelanggaran atas idealisme administrasi negara, oleh sebab itu harus ditindak. Dengan ditemukannya bukti pungli, pemerintah akan membuat prosedur baru untuk pembuatan SIM dan STNK agar tidak memberi ruang bagi kesempatan melakukan pungli.

Selain Roskin, et.al., Andrew Heywood juga mengutarakan sejumlah fungsi yang melekat pada birokrasi. Bagi Heywood, fungsi dari birokrasi adalah :

1.Pelaksanaan Administrasi.
Fungsi ini serupa dengan yang diutarakan Roskin, et.al, bahwa fungsi utama birokrasi adalah mengimplementasikan atau mengeksekusi undang-undang dan kebijakan negara. Sehubungan dengan fungsi ini, Heywood membedakan 2 peran di tubuh pemerintah. Pertama, peran pembuatan kebijakan dalam mana peran ini ada di tangan politisi. Kedua, peran pelaksanaan kebijakan dalam mana peran ini ada di tangan birokrat. Sebab itu, kerap disebut bahwa suatu rezim pemerintahan disebut dengan “administrasi.” Misalnya administrasi Gus Dur, administrasi Sukarno, administrasi SBY, atau administrasi Barack Obama. Ini akibat kenyataan, suatu kebijakan baru akan “terasa” jika telah dilaksanakan. Fungsi administrasi, oleh karena itu, merupakan fungsi sentral dari birokrasi negara.

2.Nasehat Kebijakan (Policy Advice)
Birokrasi menempati peran sentral dalam pemberian nasehat kebijakan kepada pemerintah. Ini akibat birokrasi merupakan lini terdepan dalam implementasi suatu kebijakan, mereka adalah pelaksananya. Sebab itu, masalah dalam suatu kebijakan informasinya secara otomatis akan terkumpul di birokrasi-birokrasi. Heywood membedakan 3 kategori birokrat yaitu (1) top level civil servants, (2) middle-rangking civil servants, dan (3) junior-ranking civil servants. Top Level Civil Servant banyak melakukan kontak dengan politisi, sementara middle dan junior civil servants lebih pada pekerjaan-pekerjaan rutin di “lapangan.” Top Level Civil Servants dapat bertindak selaku penasehat kebijakan bagi para politisi, dalam mana informasi pelaksanaan kebijakan mereka peroleh dari middle dan junior civil servants.

3.Artikulasi Kepentingan
Kendati bukan fungsi utamanya guna mengartikulasi kepentingan (ini fungsi partai politik), tetapi birokrasi kerap mendukung upaya artikulasi dan agregasi kepentingan. Dalam tindak keseharian mereka, birokrasi banyak melakukan kontak dengan kelompok-kelompok kepentingan di suatu negara. Ini membangkitkan kecenderungan “korporatis” dalam mana terjadi kekaburan antara kepentingan-kepentingan yang terorganisir dengan kantor-kantor pemerintah (birokrasi). Kelompok-kelompok kepentingan seperti perkumpulan dokter, guru, petani, dan bisnis kemudian menjadi “kelompok klien” yang dilayani oleh birokrasi negara. Pada satu ini “klientelisme” ini positif dalam arti birokrasi secara dekat mampu mengartikulasikan kepentingan kelompok-kelompok tersebut yang notabene adalah “rakyat” yang harus dilayani. Namun, pada sisi lain “klientelisme” ini berefek negatif, utamanya ketika birokrasi berhadapan dengan kepentingan-kepentingan bisnis besar seperti Bakri Group (ingat kasus Lapindo), kelompok-kelompok percetakan dalam kasus Ujian Nasional di Indonesia, dalam mana keputusan pemerintah “berbias” kepentingan kelompok-kelompok tersebut.

4.Stabilitas Politik
Birokrasi berperan sebagai stabilitator politik dalam arti fokus kerja mereka adalah stabilitas dan kontinuitas sistem politik. Peran ini utamanya kentara di negara-negara berkembang dalam mana pelembagaan politik demokrasi mereka masih kurang handal. (sb)

No comments:

Post a Comment

Powered By Blogger