Pemilihan umum hampir-hampir tidak mungkin dilaksanakan tanpa kehadiran partai-partai politik ditengah masyarakat. Keberadaan partai juga merupakan salah satu wujud nyata pelaksanaan asas kedaulatan rakyat. Sebab dengan partai-partai politik itulah segala aspirasi rakyat yang kedaulatan berada di tangan rakyat, maka kekuasaan harus dibangun dari bawah. Konsekuensinya, kepada rakyat harus diberikan kebebasan untuk mendirikan partai-partai politik.
Pasal 28 UUD 1945 dengan tegas menyatakan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan fikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dalam UU”. Maksudnya, disana dinyatakan bahwa Pasal 28 ini serta pasal-pasal lain yang mengenai penduduk dan warga negara hasrat Bangsa Indonesia untuk membangun negara yang bersifat ber-prikemanusiaan. Jadi yang diperlukan untuk memerinci ketentuan Pasal 28 ini adalah sebuah Undang-undang yang mengatur tentang “Kebebasan Berserikat” warga negaranya. Bukan sebuah Undang-undang yang justru akan membatasi warga negaranya untuk menyampaikan aspirasi suaranya.
Memang, kebebasan mendirikan partai tanpa batas dapat menimbulkan banyak berbagai persoalan yang justru merugikan perkembangan demokrasi. Kalau memang jumlah partai harus dibatasi, maka persoalannya kemudian ialah bagaimana caranya agar patai-partai itu dapat memainkan parannya secara wajar dan optimal, baik sebagai wahana penyalur aspirasi rakyat maupun sebagai sarana membangun pemerintahan secara demokrasi dari bawah, yang mampu menunjukkan bahwa negara memang menganut asas kedaulatan rakyat.
Apa yang berlaku selama hampir 3 (tiga) Dasawarsa terakhir ini menunjukkan sebuah gejala lemahnya posisi partai dalam memainkan peranan politiknya sebagai wahana pencerminan asas kedaulatan rakyat serta wahana pencerdasan rakyat akan sebuah pendidikan politik yang ada di negeri ini.
Apabila kita ilihat dari sudut pandang Ilmu Politik, hal ini nampaknya disebabkan oleh menguatnya peranan birokrasi dalam penyelenggaraan negara, ditambah dengan dikembangkannya sistem politik yang cenderung ke arah monolitik. Ada satu sisi segi positif kecenderungan ini, yaitu terpeliharanya stabilitas politik negara untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama dibidang ekonomi yang sangat berpengaruh dari stabilitasan politik dalam negeri.
Namun ada pula sisi negatifnya yakni kurang terserapnya aspirasi dan partisipasi rakyat secara menyeluruh dari lapisan bawah. Salah satu dampaknya ialah kecenderungan semakin melebarnya kesenjangan sosial dan ekonomi di dalam masyarakat, terutama masyarakat kecil yang selalu terpuruk dalam keadaan ekonomi yang tidak menentu. Dan hal ini terlihat saat pemerintah yang menaikkan beban ekonomi pada masyarakat secara umum, yang mengakibatkan sebuah problema yang mempengaruhi tata kehidupan ekonomi masyarakat. Sebagai contoh yang ada pada saat sekarang yaitu, Pemerintah yang menaikkan harga BBM yang alasan Pemerintah bahwa hal ini disebabkan akan naiknya harga Minyak Dunia, akan tetapi dengan adanya kompensasi bahwa rakyat kecil dan miskin akan mendapat bantuan berupa BLT yang dibagikan seharga Rp. 300.000,- per kepala keluarga se-Indonesia.
Akan tetapi pada kenyataan bahwa data yang digunakan adalah data lama (2005) yang banyak data yang sewaktu dilihat pada kenyataannya yaitu banyak rakyat Indonesia yang bertambah miskin sejak tahun 2005 sampai tahun 2008. Serta juga dalam hal pembagian juga banyak sekali ketimpangan yang terjadi, antara lain adanya rakyat yang miskin yang tidak mendapat BLT serta juga ada rakyat yang mampu perekonomiannya yang mendapatkan BLT.
Lemahnya peranan dari partai politik yang terjadi ditengah masyarakat dengan sendirinya mengurangi makna asas kedaulatan rakyat yang kita anut, serta juga banyak rakyat yang tidak percaya akan peranan partai politik akan mau memperjuangkan aspirasi rakyat secara umum yang menjerit akan himpinan hidup yang diciptakan oleh pemerintahan yang kurang bisa menangani akan tata pemerintahan dalam hal ekonomi. Lemahnya posisi partai politik juga turut serta mengambil keputusan-keputusan politik yang ada di dewan pemerintahan, karena dominan peranan sebuah birokrasi politik yang membawa dampak kurang bermaknanya arti sebuah pemilihan umum yang ada di negeri ini. Pemilihan umum yang berlangsung cenderung tidak membawa perubahan yang berarti, baik dalam proses peralihan maupun dalam upaya peningkatan aspirasi rakyat dari bawah dan juga perbaikan ekonomi yang di inginkan oleh rakyat secara umum.
Namun demikian, tidaklah berarti bahwa pemilihan umum yang selama ini dilaksanakan selama sama sekali tidak mempunyai makna yang berarti. Keberhasilan pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pemilihan umum secara yang secara rutin sekali dalam 5 tahun tentu mempunyai arti tersendiri dalam proses pembangunan demokrasi yang ada di Indonesia ini, walaupun banyak cacat yang terjadi disana-sini tetapi hal yang patut di perhatikan bahwa pemerintahan Orde Baru mampu melaksanakan pemilu secara berkala.
Tetapi, walau bagaimanapun dari waktu ke waktu diperlukan perbaikan-perbaikan dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia . Ini terutama menyangkut pembenahan kehidupan kepartaian yang ada di negara kita dan berbagai aspek mengenai penyelenggaraan pemilihan umum, baik dari segi pengeturan, penyelenggaraan maupun sistemnya serta penyidikan akan pelanggaran dari para peserta pemilu serta juga dari Jurkam maupun Timsesnya.
Adapun dalam masalah Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) yang sesuai dengan peraturan per-undang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang mengatur akan tata Pemerintahan Daerah (PEMDA) dalam mengatur pemerintahan sendiri terutama dalam hal Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Undang-undang ini sesuai dengan UUD 1945 yang ada pada UUD 1945 perubahan pertama yaitu Pasal 22E UUD 1945. Yaitu bahwa Pemilihan Kepala Daerah baik untuk tingkatan Gubernur, Bupati, Walikota serta para wakilnya di tentukan oleh adanya pemilihan secara langsung oleh rakyat yang berasaskan pada langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Jimlie Ashshiqie, 2006, hal:792).
Sedangkan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah ini dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang bertempat tugas di daerah Tingkat I (Provinsi), daerah Tingkat II (Kabupaten), dan Kota . Komisi ini melaksanakan tugasnya sebagai badan pelaksana pemerintah yang mengurusi akan masalah Pemilihan Kepala Daerah yang ada di daerah tanggung jawabnya. Adapun tugas dari KPUD bukan hanya saja memilih Gubernur, Bupati, maupun Walikota akan tetapi DPRD juga turut serta dalam wewenang tanggung jawab dari KPUD dalam memilih anggota legislatif yang ada di daerah. Akan tetapi fokus dalam masalah yang berkembang dalam wacana publik yang ada yaitu banyak masyarakat daerah tersebut atau masyarakat umum se-Indonesia yang membicarakan masalah pemilihan kepala daerah yang berstatus Gubernur, Walikota, maupun Bupati.
Sedangkan pengertian dari Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lalu yang ada dalam pemerintah daerah adalah Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah (Undang-undang No. 32 Tahun 2008, Pasal 1 Ayat 2 dan Ayat 3)

No comments:
Post a Comment